Blog ini berisi tentang keindahan alam, budaya, pesona wisata di wilayah Magelang yang begitu menakjubkan

Minggu, 30 Oktober 2011

Museum Bumi Putera 1912


Museum asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 merupakan museum Asuransi pertama di Indonesia. Terletak di Jalan Jenderal A. Yani No. 21 Magelang. Di dalam museum ini dipamerkan berbagai dokumen lama, mulai periode 112, foto-foto penting, dan peralatan kantor sederhana yang digunakan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 pada masa yang silam. Maksud dari pendirian Museum ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan gagasan, cita-cita dan karya para perintis berdirinya AJB Bumiputera 1912 yang merupakan penjabaran dari Perjuangan Pergerakan Kemerdekaan Boedi Oetomo, di bidang Kesejahteraan. Dengan melestarikan gagasan, cita-cita dan karya para pendiri Bumiputera itu, diharapkan para generasi penerus akan melestarikan tradisi pengabdian dengan semangat yang tak padam untuk meneruskan perjuangan mereka yang telah dibaktikan dengan penuh kesadaraan, keikhlasan, dan pengorbanan. Dengan menyimak sejarah Bumiputera ini, wisatawan akan lebih menyongsong hari esok, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan karya para Pahlawannya.

Museum Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 di resmikan oleh Walikota Magelang Drs. Bagus Panuntun pada hari Senin tanggal 20 Mei 1985, bertepatan dengan Peringatan Hari Ulang tahun ke 17 Pergerakan Kebangkitan Nasional. Bangunan gedung museum ini adalah bangunan seni budaya tradisional Indonesia dengan bentuk bangunan khas Jawa Tengah, yaitu Joglo beratap tiga. Di depan Museum berdiri dengan gagah patung para pendiri AJB Bumiputera 1912.

Koleksi

Koleksi Museum Bumiputera 1912 berupa, Foto pendiri, Dokumen surat-surat, Mesin ketik, Mesin hitung, Mesin cetak, Buku-buku ilmiah, Mata uang kertas, Foto-foto Kan-Cab, Buku-buku panduan/budaya dll, Patung pendiri, Patung Darupala, Foto-foto pahlawan.
Lokasi Museum
Jalan Jend. A. Yani No.21, Magelang 56117
Telp. 0293-362610, Fax. 0293-363280

Transportasi
Jarak tempuh dari Bandar udara : 42 Km
Jarak tempuh dari Pelabuhan Laut : 75 Km
Jarak tempuh dari Terminal Bus : 2 Km
Jarak tempuh dari Stasiun KA : 42 Km

Jadwal Kunjung
Senin s/d Jum'at : 08.00 s/d 16.30
Sabtu - Minggu : tutup
Harga Karcis
Tidak dipungut biaya
Fasilitas
Luas Tanah / Luas Bangunan : 500 m2 / 200 m2
- Ruang Pameran Tetap
- Ruang Auditorium
- Ruang Perpustakaan
- Ruang Administrasi
- Ruang Mushola
- Toilet

Organisasi
Jumlah Pegawai 2 orang
- Tenaga Fungsional : 1 orang
- Cleaning Service : 1 orang

Program Museum
Ceramah, Workshop, Penyuluhan, Lomba/Festifal.

Candi Lumbung


Candi Lumbung ini terletak di wilayah Tlatar, Sawangan, Magelang. untuk menuju ke Candi Lumbung dari arah Kota Blabak ke jurusan KetepPass kurang lebih 6Km. Sampai di pertigaan Tlatar, belok kearah timur kuang lebih 500 m. Candi ini tidak ada data dari balai arkeologi. Menilik bangunannya bercorak Siwa Hindu. Lingga maupun Joninya sudah tidak ada. Yang menarik pada Candi Lumbung ini adalah panoramanya yang masih alami, menuju ke candi ini masih melewati pematang sawah, dengan view Gunung Merapi dan berada di tepi lereng sungai Pabelan.

Museum Seni Rupa H. Widayat


Museum Seni Rupa H. Widayat berdiri diatas areal tanah seluas ± 7.000 m2 terletak di jalur wisata diantara candi Mendut dan candi Borobudur, kira-kira 2 kilometer sebelum memasuki area Candi Borobudur, tepatnya di Jl. Letnan Tukiyat 32 Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Museum Haji Widayat terdiri atas 3 bangunan utama, MUSEUM H. WIDAYAT, GALERI HJ. SOEWARNI (d/h GALERI WIDAYAT) dan ART SHOP HJ. SOEMINI, serta AREA TAMAN yang dimanfaatkan untuk meletakkan karya seni outdoor, dibangun tahap demi tahap sesuai dengan perluasan area dan peruntukannya.

Museum Haji Widayat adalah wujud nyata dari sebuah impian, obsesi dan prestasi dari pelukis H. Widayat. Impian dan obsesinya untuk memelihara dan mengabadikan karya-karya pelukis muda, khususnya mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia/ASRI (Institut Seni Indonesia/ISI).

Selama lebih dari 40 tahun, sebelum akhirnya terealisasi, memiliki museum merupakan cita-cita H. Widayat. Mungkin itu adalah obsesi terbesar dari seorang H. Widayat. Bukan saja sebagai tempat memamerkan karya-karya pribadinya maupun karya-karya pelukis dan perupa lain, tetapi sebagai seniman yang menjadi dosen Akademi Seni Rupa Indonesia, motivasi utamanya adalah menjadikan museum pribadinya sebagai tempat untuk belajar dan mengapresiasi karya seni. Sepulang dari belajar di Jepang pada tahun 1962, usulan untuk membuat museum ini muncul dan disodorkan oleh kawan dekatnya, Fadjar Sidik. Ide mendirikan museum ini sebenarnya bermula dari keprihatinan Widayat, yang pada saat itu sudah Pensiun dari Staf Pengajar di Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, melihat koleksi karya-karya mahasiswa yang hanya bertumpuk di gudang, bahkan banyak yang hilang diambil orang. Peristiwa itulah yang mendorong munculnya usulan Fadjar Sidik yang lantas direalisasikannya setapak demi setapak.

Museum H. Widayat dibangun tahun 1991 dan diresmikan pembukaannya pada tanggal 30 April 1994 oleh Prof. DR. Ing. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pecinan Magelang


A. Selayang Pandang
Jalan Pemuda atau yang lebih dikenal dengan nama Pecinan sering disebut Malioboro-nya Magelang. Kawasan pecinan ini merupakan pusat perbelanjaan dan bisnis yang ada di Kota Magelang. Di sisi kiri dan kanan jalan sepanjang 1,5 kilometer ini berdiri banyak toko dan minimarket serta restoran.

Kawasan Pecinan Magelang ini terdiri atas dua ruas jalan. Ruas pertama adalah ruas jalan untuk kendaraan bermotor yang merupakan ruas jalan satu arah. Sedangkan ruas satunya lagi merupakan jalur lambat yang kini digunakan sebagai jalan khusus untuk becak maupun kendaraan roda dua. Ruas jalan ini dulunya dilalui kereta api yang kini sudah tidak ada lagi di Magelang.

Pecinan merupakan salah satu landmark Magelang di samping tempat lainnya. Di ruas-ruas jalan Kawasan Pecinan ini sudah tidak ada satupun ruang yang kosong karena semuanya telah dipadati oleh pertokoan. Sejak dahulu, Kawasan Pecinan ini merupakan pusat kegiatan ekonomi Magelang. Status Magelang sebagai salah satu greemente (karisidenan) mengharuskan Magelang memiliki insfrastuktur transportasi maupun perdagangan yang memadai. Kawasan Pecinan inilah salah satu peninggalan infrastuktur peninggalan pemerintahan kolonial yang hingga kini masih berjalan.

Di kawasan ini, pengunjung dapat membelanjakan uang untuk berbagai kebutuhan yang dijual toko, ruko, maupun warung yang terletak di sepanjang jalan-jalan di Pecinan Magelang. Di kawasan ini, pengunjung dapat membeli kebutuhan rumah tangga, sembako, perkakas rumah tangga, maupun kebutuhan-kebutuhan sekunder maupun tersier lainnya. Selain itu, kawasan ini pun menyediakan sajian kuliner khas Magelang maupun masakan nusantara lainnya, seperti kupat tahu Magelang, gudeg Yogya, masakan padang hingga masakan peranakan Cina.

B. Keistimewaan
Bagi orang Magelang sudah tentu tidak asing lagi dengan nama Pasar Petukangan atau Pasar Pecinan ini. Pasar ini sungguh unik dan menarik, sebab pasar ini benar-benar memanfaatkan lorong atau gang sempit yang berada di kawasan ini. Kawasan ini juga sangat ramai karena barang dagangan yang digelar juga cukup lengkap. Bahkan beberapa jenis barang sangat sulit dijumpai di pasar-pasar tradisional lainnya.

Sebagai pusat Kota Magelang, Kawasan Pecinan menyajikan berbagai variasi aktivitas berbelanja. Mulai dari cara-cara berbelanja tradisional hingga bentuk-bentuk aktivitas belanja modern. Salah satu cara berbelanja khas yang bisa Anda lalukan di sini ialah proses tawar-menawar berbagai barang yang dijual oleh pemilik toko atau para pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang trotoar di kawasan ini.

Mengunjungi Kawasan Pecianan ini, Anda akan mendapatkan sepaket wisata plus. Selain Anda bisa menikmati sajian berbelanja, Anda juga akan menikmati obyek-obyek wisata liannya seperti obyek wisata sejarah, wisata arsitektur peninggalan kolonial, wisata alam Bukit Tidar, dan juga wisata belanja Pasar Tradisional Pertukangan. Obyek-obyek wisata sejarah yang berada di sekitar Kawasan Pecinan di antaranya Masjid Agung Magelang dan alun-alunnya, Klenteng Magelang, Museum Kamar Petilasan Pangeran Diponegoro, Museum BPK, Museum Bumi Putera 1912, Kampung Kauman, serta landmark Kota Magelang lainnya, yakni penampungan air.

C. Lokasi

Kawasan Pecinan terletak di sepanjang Jalan Pemuda, Kota Magelang, Jawa Tengah.

D. Akses

Untuk menuju Kawasan Pecinan Magelang ini, Anda dapat menggunakan moda angkutan darat baik pribadi maupun umum. Untuk kendaraan umum, Anda dapat mengawali perjalanan dari Yogyakarta melalui Terminal Giwangan maupun sub-terminal Jombor. Dari kedua terminal tersebut, Anda bisa melanjutkan perjalanan dengan bus umum antar kota antar provinsi dengan trayek Yogyakarta-Semarang. Dengan bus trayek ini, Anda lantas turun di Terminal Tidar Magelang. Perjalanan bisa Anda lanjutkan dengan menaiki ankutan kota berwarna biru dengan titik pemberhentian di Alun-alun Kota Magelang.

Sedangkan bagi Anda yang menggunakan kendaraan pribadi, Anda dapat lansung menargetkan tujuan pemberhentian langsung ke Alun-alun Magelang. Jalur tersebut bisa Anda tempuh dari Yogyakarta dengan melintasi Jalan Magelang lantas menuju ke Alun-alun Kota Magelang yang terletak di Jalan Tentara Pelajar. Dari jalan ini, Anda bisa langsung menuju Jalan Pemuda yang terletak di sebelah Timur Alun-alun Magelang.

E. Harga Tiket

Memasuki Kawasan Pecinan, wisatawan tidak dipungut biaya serupiah pun.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Tak diragukan lagi bahwa kawasan ini menyediakan berbagai macam akomodasi bagi wisatawan, mulai dari hotel dengan harga sewa kamar per malamnya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan, hingga atau homestay, yang harga sewa tiap kamarnya hanya berkisar Rp 20.000 per malam. Bagi yang berminat menginap, wisatawan dapat mencarinya di sekitar Jalan Pemuda.

Selain itu, wisatawan juga dapat memilih berbagai masakan berdasarkan selera masing-masing, mulai dari angkringan (warung berbentuk gerobak yang menyediakan serba-serbi makanan lokal), gudeg, nasi goreng, lalapan yang disajikan dengan suasana lesehan, berbagai masakan Cina, sampai fastfood atau masakan-masakan a la Barat dalam restoran atau café-café yang ada di sekitar Kawasan Pecinan.

Fasilitas yang menunjang kawasan ini tak hanya berupa akomodasi dan tempat makan saja, melainkan juga pos informasi bagi wisatawan, polisi pariwisata, tempat ibadah, kios-kios money changer, ATM, kios telepon, warung internet, dan tempat parkir yang luas.

Kolam Renang Mendut


Kolam Renang Mendut terletak strategis di dekat Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, di jalur wisata antara Candi Mendut hingga Borobudur.

Para wisatawan yang telah turun dari Borobudur bisa menikmati suasana santai dengan singgah untuk mandi di kolam renang yang berada di dalam Taman Rekreasi Mendut itu.

Fasilitas di objek wisata itu antara lain kolam renang umum berbentuk huruf "L" berukuran panjang 50 meter, lebar 25 meter dengan kedalaman secara berturut-turut 1,5 meter, dua meter, dan 3,5 meter, dilengkapi papan luncur setinggi dua meter.

Selain itu kolam renang anak-anak berbentuk angka "8" dengan kedalaman antara 50 dan 80 centimeter.
Sejumlah sarana wisata lainnya tempat penitipan pakaian, kamar mandi dan ganti pakaian, area bermain, taman, lapangan tenis, mushala, kantin, dan areal parkir.

Pada hari biasa pengunjung kolam renang itu sedikitnya 60 orang, sedangkan hari libur sedikitnya 130 orang.
Kolam renang Mendut juga menjadi tempat pilihan masyarakat dari berbagai tempat di Magelang dan sekitarnya untuk "padusan", sehari sebelum umat Islam menjalani ibadah Puasa Ramadan, setiap tahun.

Tiket masuk kolam renang Mendut untuk dewasa Rp2.500 per orang, anak-anak Rp2.200.

Desa Wisata Candirejo

Bila diuraikan, kata Candi (bahasa Jawa) berarti batu dalam bahasa Indonesia, dan kenyataannya separuh dari luas wilayah desa Candirejo berupa daerah berbukit yang masuk dalam kawasan pegunungan Menoreh yang merupakan bekas gunung api.

Nama Candirejo bermula dari ditemukannya candi di tempat ini. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan di desa Candirejo, pernah terdapat sebuah candi yakni candi Brangkal (lokasinya di dusun Brangkal). Bukti peninggalan tersebut berupa batu candi, batu bata, arca, yoni dan sebagainya, yang merupakan peninggalan agama Hindu.

Kehidupan masyarakat desa Candirejo yang masih agraris didominasi oleh kegiatan pertanian. Jika mereka ingin menjual hasil panen dalam jumlah besar maka mereka akan menuju ke pasar Borobudur atau pasar Jagalan. Delman (andong) merupakan alat transportasi setempat yang masih banyak dipergunakan untuk kegiatan ekonomi antardesa. Rumah tradisional mereka berbentuk rumah jawa Kampung dan Limasan. Rumah dan dapur merupakan bagian yang terpisah dan ini masih tampak pada beberapa rumah. Kayu bakar masih merupakan pilihan utama sebagai bahan bakar rumah tangga.

Daya tarik wisata utama dari desa Candirejo adalah segala keunikannya, berupa kebudayaan tradisional, terkait keaslian kehidupan desa yang alami seperti Nyadran, adalah upacara adat mengirim doa untuk leluhur yang dilaksanakan setahun sekali, yakni pada bulan Ruwah (bulan pada kalender Jawa), dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Upacara Nyadran di tingkat desa dilaksanakan di gunung Mijil, sebuah bukit kecil yang terletak di perbatasan desa, yang dipimpin oleh juru kunci gunung Mijil.

Upacara-upacara adat di atas merupakan perlambang hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, manusia dengan leluhurnya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Simbol itu muncul dalam bahasa Jawa, "Memetri Bapa Ngangkoso Ibu Pertiwi".

Desa Candirejo juga memiliki sejarah sebagai tempat persinggahan pengikut pangeran Diponegoro (salah satu pahlawan perjuangan Indonesia) ketika berperang dengan tentara Belanda sekitar tahun 1825. Sebagai peninggalan budaya, momen itu tercurah dalam satu arian yang dikenal dengan nama Jathilan, yang menggambarkan latihan perang pasukan berkuda pangeran Diponegoro. Kesenian ini berkembang sejak tahun 1920-an dan memiliki beberapa versi.

Desa Candirejo dan sekitarnya, yang terletak di pegunungan Menoreh memiliki kekayaan sumber daya alam pandan. Pandan ditanam sebagai tanaman pembatas antarlahan dan tepi jalan. Tanaman ini banyak ditemui di bagian atas desa Candirejo, yakni di dusun Ngaglik, dusun Wonosari, dusun Kerekan dan dusun Butuh.

Desa Candirejo dilengkapi dengan sarana akomodasi yang cukup baik. Untuk mempertahankan suasana pedesaan yang masih asli, maka sarana akomodasi yang disediakan di desa Candirejo berupa pondok-pondok penginapan (home stay) yang diusahakan sendiri oleh masyarakat desa Candirejo.

Desa wisata Candirejo menawarkan beberapa paket wisata, antara lain:

Tamasya Keliling Desa
Paket ini menawarkan eksplorasi penjelajahan desa Candirejo, baik dengan berjalan kaki, atau menggunakan sarana angkutan delman (andong) desa. Pada kesempatan ini, wisatawan akan disuguhi dengan keunikan tradisi dan budaya masyarakat setempat, kesenian dan kerajinan rakyat, serta metode sistem pertanian tradisional.

Sistem Pertanian Desa
Paket wisata ini akan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya pelestarian dan pemeliharaan sumber-sumber daya alam, terutama yang berada di desa Candirejo. Para wisatawan dapat langsung merasakan dan mengerjakan bagaimana rasanya berinteraksi dengan alam di areal pertanian, juga dapat ikut berpartisipasi dalam memanen buah-buahan segar langsung dari lokasi pembudidayaannya.

Aktifitas Sungai
Ingin dapat menangkap ikan selincah para penduduk lokal? Bila ya, mari ikuti paket wisata ini dan bergabung dengan komunitas "Nylantrang" (komunitas para penangkap ikan). Para wisatawan dapat merasakan sendiri asyiknya menangkap ikan di sungai,juga dapat menikmati segarnya berenang dan mandi di sungai, tentu saja semua itu dalam pengawasan pemandu wisata.

Pendidikan Lingkungan (Alam)
Paket wisata ini menawarkan pendidikan tidak langsung tentang lingkungan hidup kepada para pelancong. Para wisatawan diharapkan dapat mengerti dan sadar akan pentingnya pelestarian dan pengelolaan alam dan lingkungan demi kelangsungan hidup saat ini dan generasi mendatang. Pelajarilah sistem pertanian organik, proses produksi bibit-bibit organik, dan bentuk pelestarian alam yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Kehidupan Masyarakat Setempat
Para wisatawan dapat tinggal di sebuah pondok penginapan milik penduduk, dan merasakan langsung suasana tradisional Jawa yang masih sangat melekat di tiap-tiap keluarga. Di sini, para pelancong dapat mengamati rutinitas sehari-hari dari masyarakat setempat, mulai dari menyiapkan masakan, cara memasak, sampai suasana tinggal di rumah-rumah desa

Kesenian Tradisional


 Para wisatawan memiliki kesempatan untuk menikmati berbagai kesenian tradisional di desa Candirejo. Tiap-tiap kesenian memiliki karakteristiknya masing-masing. Aktifitas menikmati kesenian tradisional di tengah-tengah komunitas penduduk desa akan memberikan nuansa tersendiri bagi wisatawan.

Sarana Tranportasi
Desa Candirejo dapat dicapai melalui salah satu dari tiga kota besar, yaitu Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Beberapa transportasi darat tersedia untuk digunakan berkunjung ke desa Candirejo. Jarak Semarang ke desa Candirejo sekitar 90 km. Bila berangkat dari bandara Ahmad Yani Semarang, dapat menggunakan taksi untuk mencapai desa Candirejo. Bila menggunakan bus, tersedia rute Semarang-Magelang. Dari Magelang menuju desa Candirejo, dapat memakai jasa angkutan umum, ojek, atau delman.

Jarak Solo ke desa Candirejo sekitar 100 km. Untuk menuju desa Candirejo dari kota Solo, dapat memakai jasa taksi yang berangkat dari lapangan udara Adi Sumarmo Solo. Bisa juga menggunakan bus yang berangkat dari terminal Tirtonadi ke terminal Umbulharjo. Dari terminal Umbulharjo, tersedia bus yang mengantar ke terminal Borobudur. Dan dari terminal Borobudur, tersedia sarana angkutan umum, ojek, dan delman/andong yang menuju ke desa Candirejo. Jarak Yogyakarta ke desa Candirejo sekitar 40 km. Dari kota ini menuju desa Candirejo, tersedia beberapa sarana transportasi. Taksi dapat digunakan langsung menuju ke desa Candirejo dari lapangan udara Adi Sutjipto Yogyakarta. Bila menggunakan bus, rute terminal Umbulharjo menuju terminal Borobudur dapat dipergunakan. Dari terminal Borobudur menuju desa Candirejo, dapat menggunakan jasa angkutan umum, ojek, dan delman/andong.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Bukit Menoreh


Bukit Menoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putera beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (putera Pangeran Diponegoro dengan R.Ay. Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulon Progo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.

Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Jogjakarta. Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup, diantaranya adalah manusia.

Kawasan ini merupakan kawasan karst yang rentan bencana dan sebagai penyangga benda cagar budaya, salah satunya Candi Borobudur yang termasuk 7 keajaiban dunia.

Untuk menuju ke lokasi Bukit Menoreh dapat di tempuh dari arah Yogyakarta maupun arah Muntilan. Lokasi kali ini yang aku kunjungi terletak di daerah Candirejo, Kab. Magelang.

Air terjun Sekar Langit

Sekar Langit dalam bahasa jawa, sekar berarti bunga, dan langit berarti langit, maka jika diterjemahkan berarti bunga yang turun dari langit. Air terjun Sekar Langit merupakan tetesan mata air yang berasal dari puncak Gunung Telomoyo, gunung yang membatasi antara kota Salatiga dan kota Magelang di Jawa Tengah.

Air Terjun Sekar Langit memiliki ketinggian sekitar 30 meter dan aliran airnya nanti akan mengalir ke arah barat menuju ke aliran sungai Elo dan selanjutnya bermuara di laut selatan Jawa.


Legenda

Warga sangat menghormati air terjun yang satu ini, hal ini lantaran sebuah runtutan kisah dongeng klasik legenda Joko Tarub, seorang pria iseng yang mengintip dan mencuri selendang bidadari yang sedang mandi di sebuah air terjun.

Warga disekitar air terjun ini percaya bahwa air dari Air Terjun Sekar Langit memiliki khasiat, baik untuk penyembuhan penyakit yang ringan seperti gatal-gatal sampai kepada penyakit kronis. Selain itu juga air ini dapat menambah aura kecantikan bagi seorang perempuan. Caranya dengan mandi atau cukup sekedar membasuh muka saja. Ada pula anggapan lain tentang erotisme khasiat dari air terjunt ini, yaitu mampu untuk menambah padat, berisi dan kencang payudara bagi perempuan. Caranya adalah sambil mandi, air terjun yang mengucur ini langsung dikenakan ke bagian utama identitas kewanitaan ini baik secara langsung atau boleh juga dikenakan sedikit demi sedikit atau diserempet-serempetkan saja. Yang penting, air dari Air Terjun Sekar Langit harus mengenai payudara secara langsung sebelum air tersebut jatuh menyentuh bumi.

Bahkan bagi yang sulit mendapatkan jodoh terutama kaum pria, tempat ini sering dijadikan tempat untuk melaksakan keingingan tersebut di atas..

Ritual untuk mendapatkan jodoh biasanya dengan melakukan meditasi di malam hari, yaitu pada malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon, dengan cara membakar dupa atau kemenyan sambil menghadap ke arah timur laut. Umumnya tempat yang dipilih untuk melakukan ritual tersebut adalah di sebuah batu berdiameter sekitar 5 meter yang terletak di sebelah selatan air terjun. Konon di tempat ini adalah tempat yang paling makbul, dimana dulunya Joko Tarub mengintip bidadari-bidadari yang sedang mandi di Sekar Langit


Lokasi

Terletak Desa Telogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah.

Peta dan Koordinat GPS:

Aksesbilitas

Berjarak sekitar 5 km dari Kopeng dari arah utara kota Salatiga. Dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil dengan kondisi jalan sudah beraspal, akan tetapi sangat curam dengan banyak turunan.

Untuk sampai ke obyek wisata Air Terjun Sekar Langit ini, dapat di capai dari dua arah. Arah pertama masuk dari kota Salatiga. Dimana sesampainya di desa Getasan (sebelum Kopeng), ambil jalan ke kanan hingga pintu gerbang. Jarak dari desa ini hingga pintu gerbang sekitar 3-4 km. Sedangkan arah kedua masuk dari kota Magelang melewati daerah Grabag dengan menyusuri perbukitan. Dari Kota Kecamatan Grabag ini, dapat ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menit, dengan pintu masuknya berada di Dusun Dalangan, Desa Pandean Ngablag.

Selanjutnya dari pintu gerbang menuju air terjun sekitar 500 meter melalui jembatan dan jalan setapak yang menanjak melewati hutan pinus. Di sepanjang jalan terpampang beberapa papan pengumuman yang diletakkan di pohon untuk mengingatkan pengunjung bilmana hujan tiba, harus keluar dari lokasi. Hal ini dikarenakan sering terjadi air bah yang datang dari hulu bila musim hujan tiba. Begitu juga terdapat larangan mandi dan turun ke sungai saat musim hujan tiba.

Tiket dan Parkir

Tiket masuk tiap kendaraan bermotor adalah Rp. 2000 dan mobil Rp. 3000.

Museum Kapal Samudraraksa


Pengantar
Museum Kapal Samudraraksa terletak di dalam zona penyangga II areal Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pembangunan museum ini ditujukan untuk mengingatkan kembali akan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang berhasil mengarungi Samudera Hindia hingga ke wilayah Afrika. Museum yang diresmikan pada tanggal 31 Agustus 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhyono ini terdiri dari tiga bangunan. Bangunan pertama merupakan tempat informasi, display foto, poster, relief, serta pemutaran film. Bangunan kedua yang berbentuk rumah joglo merupakan tempat kapal Samudraraksa dipajang. Selain kapal, di bangunan kedua ini disimpan barang-barang yang dipergunakan oleh para awak kapalnya sewaktu berlayar mengarungi samudera, seperti: peralatan memasak, peralatan rumah tangga sehari-hari, buku, kaset, cd, vcd, dan obat-obatan. Sedangkan bangunan ketiga berfungsi sebagai kantor dan tempat penjualan suvenir.

Sejarah Kapal Samudraraksa
Sejarah Kapal Samuderaraksa berawal ketika Phillipe Beale (mantan Angkatan Laut Inggris), berkunjung ke Candi Borobudur pada tanggal 8 November 1982. Saat berada di Borobudur, ia melihat relief sebuah kapal yang dipahatkan pada salah satu dindingnya. Keindahan relief kapal tersebut menjadikannya tertarik untuk membuat kapal serupa, sekaligus untuk melakukan ekspedisi seperti yang dilakukan oleh para pelaut Indonesia pada abad ke-8. Namun, 20 tahun kemudian cita-citanya itu baru terwujud, setelah pada bulan September 2002 ia menghubungi Nick Burningham (ahli arkeologi maritim berkebangsaan Australia), untuk merancang sebuah kapal seperti yang dilihatnya pada relief di Candi Borobudur. Setelah berhasil merancang kapal, pada 19 Januari 2003 mereka kemudian menghubungi As’ad Abdullah (69 tahun) yang bertempat tinggal di Pulau Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep, Madura, untuk membuat perahu rancangan mereka. Oleh As’ad Abdullah dan sejumlah arsitek asing, kapal dibuat dengan menggunakan teknologi tradisional dan seluruh bahan bakunya dari kayu.

Pada bulan Mei 2003 kapal pesanan Phillipe Beale selesai dibangun. Kapal ini berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,50 meter, dan tinggi 2,25 meter. Bagian depan kapal digunakan sebagai kabin dan tempat tidur, bagian tengah sebagai ruang makan dan navigasi, sedangkan bagian buritan digunakan sebagai ruang kemudi, dapur, dan tempat cuci piring. Untuk berlayar, karena tidak menggunakan mesin, kapal dilengkapi dengan 2 layar tanjak, 2 buah kemudi dan cadik ganda. Selain itu, kapal juga dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: Global Positioning Satelite (untuk mengetahui posisi kapal), NavTex (untuk menerima informasi cuaca), EchoSounder (untuk mendeteksi kedalaman air), Inmarst Telephone Satelite (untuk komunikasi di tengah laut), dan Lift Raft (dua buah rakit apung).

Setelah kapal selesai dibuat, pada bulan Mei 2003 diadakan seleksi untuk calon anak buah kapal. Dari seleksi itu, diambil 27 orang yang berasal dari Indonesia, Australia, Selandia Baru, Inggris, Swedia, dan Perancis. Selesai melakukan seleksi untuk anak buah kapal, dan juga menunjuk salah seorang diantara mereka untuk menjadi kapten, yaitu I Gusti Putu Ngurah Sedaha, maka pada tanggal 25 mei 2003 kapal diluncurkan untuk pertama kalinya ke laut.

Pada bulan Juni 2003 kapal bersama awaknya melakukan uji coba pelayaran dari Pulau Pangerungan Kecil ke Benoa (Bali), melewati perairan Banyuwangi. Setelah berhasil melakukan uji coba, pada tanggal 2 Juli 2003 diadakan seminar pra peluncuran kapal di Jakarta. Dua minggu kemudian, yaitu tangal 16 Juli 2003, kapal diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika.

Pada tanggal 22 Juli 2003 kapal meninggalkan Benoa menuju Ancol, Jakarta, melewati Surabaya, Karimunjawa, dan Semarang. Setelah sampai di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 2003 kapal ini diberi nama Samudraraksa yang berarti “Pelindung Lautan” dan sekaligus diberangkatkan menuju Madagaskar oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam pelayaran yang menyusuri rute Kayu Manis (Jakarta, Madagaskar, Cape Town dan berakhir di Ghana) itu, Kapal Samudraraksa membawa barang-barang kebutuhan awak kapal, seperti: 1500 liter air tawar, 900 kg beras, 2 upright sails, 1 ton kayu bakar, 0,5 ton bahan makanan dan bumbu, dan lain sebagainya.

Tanggal 12 September 2003, kapal Samudraraksa berhasil berlabuh di pelabuhan Victoria, Seychelles. Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 29 September 2003, Samudraraksa meninggalkan Seychelles menuju Madagaskar. Tanggal 14 Oktober, kapal Samudraraksa mencapai Mahajanga, Madagaskar. Dari Madagaskar, pada tanggal 26 Oktober, Samudraraksa berlayar lagi menuju Cape Town, Afrika Selatan. Dalam pelayaran menuju Cape Town itu, pada tanggal 16 November mereka singgah di Richard Bay. Tanggal 1 Desember singgah di Pelabuhan Durban. Tanggal 7 Desember singgah di Pelabuhan Elizabeth. Baru pada tanggal 5 Januari 2004, Samudraraksa tiba di Cape Town.

Sekitar 2 minggu kemudian, tepatnya tanggal 17 Januari 2004, Samudraraksa berangkat lagi menuju Ghana. Setelah beberapa minggu mengarungi lautan, pada tanggal 23 Februari kapal Samudraraksa sampai di tujuan akhir dan berlabuh di Pelabuhan Tema, Accra, Graha. Dengan berlabuhnya Samudraraksa di Ghana, maka berakhirlah ekspedisi menyusuri jalur Kayu Manis. Para awak pun kembali ke tanah air untuk menerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Sedangkan kapal Samudraraksa yang masih berada di Ghana, tujuh bulan kemudian dibongkar dan dibawa pulang ke Indonesia. Sesampai di Indonesia, bongkahan-bongkahan kapal Samudraraksa itu dibawa ke Borobudur dan dirakit kembali untuk selanjutnya dimuseumkan, sebagai tanda akan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang berhasil mengarungi Samudera Hindia hingga ke wilayah Afrika. (ali gufron)

Museum Wayang H Boediardjo


Tak banyak museum di Indonesia yang secara khusus mengoleksi wayang. Beberapa pemerhati budaya bahkan berani memastikan, hanya ada 4 museum yang benar-benar memenuhi syarat untuk disebut sebagai museum wayang.

Museum-museum tersebut, yaitu Museum Wayang di Jakarta, Museum Kekayon Yogyakarta, Museum Wayang Indonesia di Wonogiri, serta Museum Wayang H Boediardjo yang terletak di Sasana Guna Rasa, Hotel Pondok Tingal, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Museum Wayang H Boediardjo malah dianggap sebagai museum yang “sempurna” karena dilengkapi dengan perpustakaan, dan rutin menggelar pertunjukan wayang kulit.

Sebulan sekali, yaitu setiap malam minggu ke-4, digelar pertunjukan wayang kulit di Gandok Sawitri atau di Pendopo Saraswati. Sabtu malam mendatang, yakni tanggal 23 Oktober 2010, merupakan pagelaran wayang kulit ke 169 yang diadakan pengelola Hotel Pondok Tingal.

Pertunjukan biasanya dimulai pukul 20.00 WIB sampai lewat tengah malam. Ini merupakan upaya pemangku kepentingan merangkul komunitas-komunitas yang bergelut di bidang pewayangan dan kebudayaan untuk berpartisipasi meramaikan museum.

“Dalang-dalang yang punya nama besar sudah pernah dapat jatah main di sini,” kata Eko Sunyoto, karyawan Hotel Pindok Tingal yang mendapat tugas mengurusi Museum Wayang H Boediardjo.

Eko lantas menyebut nama-nama dalang mainstream semacam Ki Mantep Sudarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Purbo Asmoro, serta sejumlah dalang senior seperti Ki Anom Suroto dan Ki Hadi Sugito. Bukan hanya itu, dalang-dalang lokal pun dihadirkan untuk memberikan lebih banyak ruang berkesenian bagi mereka.
“Ki Slamet Gundono main di sini akhir Mei 2007. Dia main wayang suket. Cuma 30 menit tapi hebat, semua yang lihat terkagum-kagum. Isterinya juga malah ikut main. Ramai pokoknya,” lanjut Eko.
Ki Slamet Gundono adalah dalang mbeling asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang dikenal suka “memberontak” pada tradisi dan pakem pewayangan. Ia membuat jenis-jenis pertunjukan “aneh” seperti wayang gremeng, wayang air, wayang nglindur, dan wayang buling.
Dalam pertunjukannya, Slamet Gundono jarang mengenakan pakaian Jawa layaknya dalang-dalang lain. Ia kadang berbusana perempuan lengkap dengan make up, hingga terlihat seperti waria.

Museum Wayang dan Perpustakaan H Boediardjo diresmikan oleh Hj Sri Redjeki Boediardjo, tepat pada Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2001.

Dari buku-buku tamu yang ada, sejak museum ini diresmikan hingga sekarang, jumlah pengunjung tercatat 992 orang. Hampir setengahnya berasal dari luar negeri. Kebanyakan pengunjung asing itu datang dari Jepang dan beberapa negara di Eropa.

“Ada yang hanya wisatawan, tapi ada juga fotografer dan budayawan,” ujar Yuliza Hariyani, isteri Eko, yang kebagian tugas bersih-bersih museum. Arbain Rambey, si tukang foto jurnalistik nan ngetop itu, mengisi buku tamu pada tanggal 21 Mei 2004.

Tak ada kewajiban membayar atau membeli tiket bagi pengunjung museum. Sebuah kotak yang diletakkan di dekat pintu masuk, disediakan bagi mereka yang mau memberikan sumbangan sukarela untuk dana pemeliharaan dan perawatan wayang.

Di museum ini tersimpan koleksi berupa wayang dari Karesidenan Kedu, yang diperkirakan dibuat di tahun 1800an. Ada pula wayang-wayang tua yang terbuat dari batu, serta wayang golek kanton dari Cina dan wayang Jepang.
Wayang-wayang kulit Jawa yang terdapat di Museum Wayang H Boediardjo meliputi Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, Wayang Yogyakarta Lawas, Wayang Putihan Yogyakarta, Wayang Kulit Surakarta, Wayang Putihan Solo, Wayang Kulit Kidang Kencanan, Wayang Sadet, Wayang Putihan Digapiti, Wayang Kedu, Wayang Putihan Kedu.

Dari luar Jawa, terlihat koleksi Wayang Golek, Wayang Jawa Timuran serta Wayang Bali. Wayang Putihan adalah wayang yang sudah ditatah, namun belum dicat dan belum disungging.
“Jumlahnya ratusan. Selain wayang kulit, juga ada puluhan topeng-topeng dari Bali, Yogyakarta, Malang, Surakarta sampai topeng khas Cirebonan,” terang Eko.
Agar terhindar dari jamur dan ngengat, wayang-wayang tersebut dirawat dengan cara diangin-anginkan setiap kurun waktu tertentu, serta diberi silica gell. Ventilasi gedung museum terlihat memadai, berikut pencahayaan alami yang cukup.

Koleksi lain Museum Wayang H Boediardjo adalah 83 kaset dan 59 kaset video berisi rekaman pertunjukan beberapa jenis wayang. Rekaman wayang dalam bentuk kaset dibuat antara tahun 1971 sampai 1994, sedangkan rekaman dengan media pita kaset video diproduksi sejak awal tahun 1980an hingga pertengahan 1990an.

Sebuah ruangan dipakai sebagai perpustakaan dengan koleksi mencapai 694 judul buku dalam berbagai bahasa mengenai wayang.

Gunung Tidar, paku pulau jawa

Pernahkah anda mendengar nama Gunung Tidar? Apa yang anda bayangkan tentang gunung yang sering disebut sebagai pakuning tanah Jawa ini? Jika anda pernah mendengar nama Gunung Tidar namun belum pernah melihatnya, barangkali yang terbayang adalah sebuah gunung yang tinggi menjulang, megah dan angker.

Menurut legenda pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar.

Tapi menurut legenda lainya,gunung tidar adalah satu dari tiga patok pulau jawa yang ditancapakan seorang sakti dari persia yang bernama syeich Subakir,legenda inilah yang dipercaya oleh sebagian masyarakat Magelang dan jawa,bahkan di salah satu kawasan di dalam gunung tidar,terdapat makam yang diyakini sebagai makam syeich Subakir

Gunung Tidar juga sering dikatakan sebagai pusarnya tanah Jawa, karena terletak di tengah-tengah pulau Jawa. Ada juga yang mengatakan bahwa di puncak gunung Tidar ada makam tokok wayang Semar. Ini jelas hanya dongeng karena semua tokoh dalam pewayangan hanyalah karangan Resi Wiyasa dari India yang sudah dimodifikasi oleh walisongo dengan menambahkan 4 punakawan : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong untuk memberikan pesan moral kepada masyarakat.

Kesan seram kepada Gunung tidar juga didukung oleh cerita silat Nagasasra Sabuk Inten karya SH Mintardja. Diceritakan bahwa gunung Tidar merupakan sarang Simalodra dari golongan hitam. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa masih banyak harimau dan ular yang berkeliaran di gunung Tidar.

Lantas bagaimanakah sebenarnya gunung Tidar? Yang disebut sebagai Gunung Tidar sebenarnya hanyalah sebuah bukit kecil di Selatan kota Magelang dengan tinggi 500m dari permukaan laut. Perjalanan dari kaki ke puncak Tidar dapat ditempuh selama 1/2 jam dengan berjalan santai pada jalan yang sudah disediakan jalurnya.

Sebegitu ampuh Gunung Tidar ini sehingga banyak tempat ataupun nama lokal di Magelang mencantumkan nama Tidar semisal rumah sakit, spot radio, hotel, terminal, farmasi apotek, dan tentu saja Pendekar Tidar. Tidar menjadi salah satu ikon identitas Magelang selain AKMIL, Panca Arga, Ketep Pass, Borobudur.

Makam Kyai Tuk Sanga



Makam Kyai Tuk Sanga berlokasi di Kelurahan Cacaban 1 km arah Barat kota Magelang, tepatnya di pinggir sungai Progo. Tradisi sadranan dan bersih "makam" oleh masyarakat setempat diselenggarakan setiap bulan Dzulhijah pada hari Jum'at Pon.

Tuk Drajat

Pancuran (Tuk) Drajat di Magelang 

Terletak di Kampung Tulung Kelurahan Magelang, tepat di pinggir Sungai progo terdapat Tuk/Pancuran yang dipercayai sebagai tempat wudhu Kyai Drajat (prajurit P.Diponegoro). Setiap malam tanggal 1 Syuro banyak dikunjungi orang dari luar kota untuk "memohon berkah" agar ditinggikan derajat atau pangkat dan dibebaskan dari segala nestapa.

Candi Pendem


Candi Pendem sengi merupakan 1 candi yang berada di kompleks percandian sengi. seperti halnya 2 candi lainya ( candi asu sengi dan candi lumbung sengi). candi ini beragama hindu. dan jaraknya sangat berdekatan dengan candi asu sengi yang hanya berjarak 100 meteran. namun areal yang harus dilalui untuk menuju situs ini ialah dengan blusukan menyusuri persawahan warga dan keberadaan candinya sendiri berada di bawah tanah sekitar 2-3 meteran.

Candi ini kemungkinan masih 1 masa pembuatannya. yang tersisa di candi ini hanya reruntuhan candinya saja dan atap candi ta tersusun lagi kemungkinan masih tertimbun atau malah telah menghilang. dilihat dari keberadaannya yang dibawah tanah kemungkinan candi ini dahulu tertimbun lahar merapi yang sangat ganas. dengan fakta keberadaannya yang sungguh dalam di bawah tanah.

Yang tersisa di candi ini hanyalah sumuran candi beberapa mahluk gana didinding candi dan juga beberapa antefik yang berornamen sungguh indah. dan apabila dicermati secara meneyeluruh mahluk gana yang ada di badan candi semua gaya dan bentuknya yang hampir berbeda satu sama lainnya.

Ornamen antefiknyapun ga kalah menarik untuk dicermati begitu detai nenek moyang kita memahat setiap batu candinya.
Untuk menuju candi ini lebih gampang bertanya kepada warga sekitar karna letaknya yang nyempil dan tak terlihat dari jalan raya atau lihat peta di kompleks percandian sengi ini :

Candi ini sendiri berada di desa candi pos, desa sengi, kecamatan dukun, Kabupaten Magelang, jawa tengah. dan masih 1 jalur menuju obyekwisata ketep pass.

Puncak Suroloyo



Wisatanesia.com--Puncak Suroloyo merupakan bukit tertinggi di kawasan pegunungan Menoreh yang terletak di di dusun Keceme, Gerbosari, kecamatan Samigaluh, kabupaten Kulonprogo. Selain memiliki pemandangan yang indah, tempat ini juga memiliki berbagai cerita dan mitos yang cukup kuat.

Ada dua jalur untuk bisa mencapai tempat ini yakni jalan Godean – Sentolo – Kalibawang dan dari jalan Magelang - Pasar Muntilan – Kalibawang. Jalur menuju tempat ini cukup sulit karena penuh tanjakan dan berbelok-belok. Sampai saat ini daerah ini memang hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi saja.

Di daerah dengan ketinggian sekitar 1.100 meter diatas permukaan air laut ini, orang bisa menyaksikan bentangan alam yang begitu indah. Jika cuaca cerah, biasanya pada pagi hari, orang bisa memandang empat gunung besar di jawa yakni Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Dari tempat ini puncak Candi Borobudur yang berada di Magelang juga bisa dilihat dengan jelas.

Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung Muntilan


A. Selayang Pandang
Desa Tamanagung adalah salah satu sentra Kerajinan Pahat Batu yang cukup terkenal di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari 16 dusun yang ada di desa ini empat di antaranya mayoritas penduduknya bekerja sebagai perajin pahat batu. Keempat dusun tersebut adalah Dusun Ngawisan, Ngadiretno, Tejowarno, dan Prumpung. Dusun yang disebutkan terakhir ini merupakan cikal-bakal sentra Kerajinan Pahat Batu di Desa Tamanagung. Sejak dulu hingga sekarang dusun ini dikenal sebagai pemahat patung batu dengan menggunakan batu andesit sebagai bahan material utamanya. Dipilihnya batu andesit sebagai bahan material karena letak dusun ini berdekatan dengan lereng Gunung Merapi yang merupakan kawasan bebatuan yang melimpah ruah. Bebatuan tersebut berasal dari cairan lava panas yang tersembur dari dalam gunung lalu mengalir ke bawah, dan akhirnya membeku menjadi bebatuan.

Menurut cerita, bahan baku untuk pemugaran Candi Borobudur diambil dari Lereng Gunung Merapi tersebut. Ketika itu, Dusun Prumpung merupakan tempat transit bahan baku sebelum dibawa ke Candi Borobudur karena memang letaknya yang cukup strategis, yaitu berada tepat di tengah-tengah antara Lereng Gunung Merapi dengan Candi Borobudur. Pada tahun 1930, tiga orang pemahat batu dari Dusun Prumpung ini dipekerjakan oleh Theodoor Var Erp untuk memugar Candi Borobudur. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah Salim Djajapawiro. Dari keturunan Salim Djajapawiro inilah seni pahat batu mulai nampak dan berkembang di Dusun Prumpung.

Doelkamid Djajaprana atau yang akrab dipanggil Djayaprana adalah salah seorang putra Salim Djajapawiro yang disebut-sebut sebagai perintis kerajinan pahat batu di Dusun Prumpung pada tahun 1953. Berawal dari idenya, Djajaprana mengajak dua orang saudaranya Ali Rahmad dan Karin mencoba untuk memahat batu berbentuk kepala Buddha dengan mencontoh patung Buddha di Candi Borobobudur. Pada mulanya, mereka ragu-ragu untuk memulainya karena takut dianggap melanggar ajaran agama Buddha atau dianggap berdosa. Namun, dengan modal nekad, akhirnya berhasil membuat sebuah kepala patung Buddha yang sama persis patung Buddha di Borobudur. Alhasil, arca kepala Buddha buatan mereka berhasil dijual kepada seorang pedagang dari daerah Sumatera dengan harga Rp. 150,00. Berawal dari situlah, Djajaprana bersama kedua saudaranya mendirikan Sanggar Pahat Batu Sanjaya pada tahun 1960.

Pada mulanya, Djajaprana bersama kedua saudaranya masih memproduksi arca kepala Buddha di sanggar yang baru didirikannya. Tatkala ia mendapat dukungan dari Jenderal Gatot Subroto, usahanya pun kian berkibar dengan memproduksi berbagai bentuk kerajinan pahat batu berupa gapura. Melihat kesuksesan tersebut, warga di sekitarnya pun beramai-ramai ngangsu kaweruh (menimbah ilmu) kepada pria kelahiran tahun 1969 itu bersaudara sehingga Dusun Prumpung semakin ramai dengan perajin pahat batu. Sejak itulah, nama dusun ini diganti menjadi Sidoharjo. Kata “Sidoharjo” dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu sido yang berarti jadi, dan harjo yang berarti ramai. Jadi, Dusun Sidoharjo dapat diartikan sebagai dusun menjadi ramai.

Tidak hanya warga Sidoharjo, warga dari dusun lain di Tamanagung dan bahkan dari desa-desa sekitarnya pun ikut mengembangkan kerajinan pahat batu di daerah mereka. Mulai saat itu pertumbuhan sanggar pahat batu di Desa Tamanagung semakin menjamur setiap tahunnya. Dari tahun 1960-1970 telah berdiri sekitar 14 sanggar pemahat, kemudian tahun 1970-1980 bertambah menjadi 38 sanggar, dan sekitar 1980-1985 bertambah lagi menjadi 45 sanggar. Hingga saat ini, sekitar 5 km di sepanjang lingkar jalan Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat ratusan pemahat dan pengusaha kerajinan pahat batu, mulai dari yang muda hingga yang tua. Para perajin tersebut tidak hanya memproduksi berbagai kerajinan pahat batu dalam segala model, misalnya miniatur candi, patung Buddha, gupala, ganesha, patung antik Wisnu dan Siwa, cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, dan sebagainya.

Sekitar tahun 1970-an, seorang pemahat dari Bali bernama I Nyoman Alim Musthapa yang menikah dengan gadis Desa Sidoharjo memperkenalkan kreasi baru dengan gaya seni patung klasik Bali. Dengan kreasinya yang khas Bali tersebut, I Nyoman kemudian memperoleh pasar modern dengan membangun berbagai fasilitas hotel seperti Hotel Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan sebagainya. Demikian pula kreasi-kreasi para perajin dari Desa Sidoharjo juga mulai menyebar ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, dan bahkan diekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain.

Produk kerajinan pahat batu yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara yaitu berupa patung-patung klasik seperti patung Buddha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Pesanan dari mancanegara ini bisa mencapai satu kontainer. Sementara itu, wisatawan domestik lebih menyukai patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion. Jika sedang banjir pesanan, omset seorang pemilik sanggar yang dibantu oleh beberapa orang pemahat bisa mencapai ratusan juta rupiah perbulan.

Harga produk kerajinan pahat batu pun bervariasi, tergantung kualitas pembuatannya. Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya karena hasil pengerjaannya juga berbeda-beda, ada yang halus dan pula yang kurang. Yang jelas harga yang ditawarkan oleh para perajin tergantung pada jenis, ukuran, dan kualitas sebuah produk dengan harga mulai dari kisaran puluhan ribu hingga ratusan juta rupiah. Lampion misalnya, harganya berkisar antara 100-500 ribu rupiah, relief Borobudur per meter persegi dihargai 1-1,5 juta rupiah, patung gupala berukuran 80 cm dijual seharga 1,5-2 juta rupiah, sedangkan yang berukuran 1 meter dihargari sekitar 4-5 juta.

B. Keistimewaan
Desa Tamanagung adalah salah satu obyek wisata desa yang banyak diminati oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di desa ini terdapat ratusan sanggar pahat batu yang memproduksi berbagai jenis, bentuk, dan ukuran kerajinan pahat batu yang terbuat dari bahan alami seperti batu putih, batu granit, maupun batu lava (batu candi). Wisatawan tidak hanya disuguhkan hasil kerajinan pahat batu yang sudah jadi, tetapi juga dapat memesan langsung sesuai dengan selera pemesan. Bahkan, tidak jarang pemesan sudah mempunyai sampel atau desain produk untuk didiskusikan bersama pemahat pada saat pemesanan berlangsung.

Selain itu, para perajin pahat batu di desa ini mampu melayani pesanan patung untuk berbagai keperluan dengan variasi ketinggian mulai dari ukuran 50 cm hingga puluhan meter. Para perajin juga sering mendapat pesanan untuk membuat tiruan berbagai bangunan bersejarah di beberapa negera seperti Angkor Wat di Kamboja, Pagoda Dagong Shwe di Myanmar, atau Istana Potala di Tibet. Selain patung-patung klasik dan bangunan bersejarah, para perajin juga melayani pesanan patung untuk keperluan interior dan exterior hotel, perkantoran, biara, maupun klenteng.

Tidak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Desa Tamanagung juga dapat menyaksikan langsung para pemahat membuat berbagai kreasi kerajinan pahat batu. Di sana wisatawan dapat mengetahui bahwa untuk menghasilkan kreasi pahat batu, khususnya patung batu, yang bisa mengeluarkan aura tertentu memang tidaklah mudah, tetapi harus melalui tangan-tangan terampil para perajin, mempunyai jiwa seni serta perasaan yang halus dan ketulusan hati. Sebagai pekerja seni, imajinasi seorang perajin harus menjelajah ke mana saja, baik ke dunia mistis, etnis, religi, humor, bahkan ke hal-hal porno (menurut ukuran sebagian orang), demi menghasilkan karya seni yang mengagumkan.

Berkunjung ke desa ini, wisatawan juga dapat melihat berbagai teknik yang digunakan oleh para perajin dalam membuat kerajinan pahat batu. Seorang perajin terkadang menggunakan teknik tersendiri yang tidak digunakan oleh perajin lainnya. Misalnya untuk membuat kesan kuno pada sebuah patung atau arca, para perajin pada umumnya menggunakan bahan-bahan yang hampir sama yaitu berupa teh, kunyit, gambir, dan tanah liat. Namun, sebagian dari perajin, selain mencampurkan bahan-bahan tersebut juga menambahkannya dengan air accu (air aki) yang berfungsi untuk memperbesar pori-pori patung. Setelah berbagai bahan tersebut dioleskan ke seluruh permukaan patung, patung tersebut kemudian dibakar dengan kayu bakar. Teknik yang lebih unik lagi yaitu seusai dilumuri berbagai ramuan, patung tersebut dikubur di dalam tanah selama satu tahun lebih.

C. Lokasi
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung terletak di Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

D. Akses
Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung sekitar 29 kilometer dari Yogyakarta, atau sekitar 12 kilometer dari Candi Borobudur, atau lebih kurang 125 dari Kota Semarang. Dari arah Kota Yogyakarta, pengunjung dapat menggunakan kendaraan umum maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum, pengunjung dapat naik bus jurusan Yogyakarta-Semarang di Terminal Giwangan atau di Terminal Jombor.

E. Tiket
Wisatawan yang berkunjung ke Sentra Kerajinan Pahat Batu Desa Tamanagung tidak dipungut biaya.

F. Akomodasi dan Fasilitas
Sentra Kerajinan Pahat Batu ini berada pada jalur perjalanan wisata menuju Candi Borobudur dan Semarang dari arah Kota Yogyakarta. Dengan demikian, wisatawan dapat dengan muda menemukan berbagai fasilitas seperti penginapan, hotel, warung makan, dan pusat oleh-oleh makanan khas Magelang di sepanjang lingkar jalan raya Yogyakarta-Muntilan-Semarang.

Kamis, 27 Oktober 2011

Monumen Bambu Runcing


Kalau anda berkunjung di kota muntilan, jangan lupa mampir di monumen bambu runcing muntilan untuk sekedar istirahat sejenak  menghilangkan penat atau sekedar makan makan di warung warung tenda. Monumen ini dibangun untuk mengenang para pahlawan yang berjuang melawan penjajahan dengan senjatakan bambu runcing. Monumen berbentuk menyerupai bambu runcing ini tepatnya berada disebelah barat kota muntilan, kab.magelang, jawa tengah, indonesia.

Disekitar monumen ini ada beberapa patung pahlawan memakai senjata bambu runcing, Ada juga tempat bermain anak, serta patung patung binatang, Dan disekitarnya juga banyak pedagang lesehan yang menjual aneka makanan khas dari kota muntilan. Dan disebelah selatan monumen ini terdapat pusat kerajinan batu prumpung, Disana banyak dibuat patung patung dari batu. Tempat ini dapat diakses dari Magelang – muntilan – monumen bambu runcing, Atau bisa juga dari jogjakarta.

Argo Wana Wisata Cupu Mas


Argo wana wisata cupu mas terletak di sebuah daerah berbukit yang mana wana wisata ini berada di area pegunungan ± 200 m dari permukaan laut, yang bernama pegunungan potorono. Kawasan tersebut terletak di Dusun Sedhan, Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Udara di daerah tersebut sangatlah sejuk serasa kita berada di suatu tempat dimana suatu pepohonan dan tanaman yang lainnya masih sangat alami.

Pesona yang ditawarkan dari argo wana wisata cupu mas ini yaitu suatu hutan dimana hutan tersebut merupakan hutan yang satu-satunya di Jawa Tengah yang masih alami sejak dahulu kala. Makanya banyak peneliti maupun badan kehutanan yang sering mengunjungi tempat itu dan tujuannya adalah untuk melestarikan hutan tersebut. Pernah ada tawaran dari suatu instansi yang mana mereka ingin membeli hutan tersebut seharga 2 M, akan tetapi masyarakat yang berada di sekitasrnya menolaknya. Pasalnya dari pembelian tersebut mereka akan menebangi pepohonan dan kayunya akan dijual, ya jelas saja kan pohon-pohon di hutan tersebut masih alami dan tentu besar-besar jadi kalau dijual pasti laku besar. Itulah suatu kisah dari penyakit bangsa ini yang tidak ada habisnya, masak demi keuntungan perut saja hutan yang sangat berarti demi kelangsungan hidup manusia begitu juga makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang tergantung hidupnya pada hutan tersebut akan makan apa? Tanyain tu pada cukong-cukong kayu yang perutnya kayak drum minyak tanah, hee..he! Mungkin para mafia hutan itu belum pernah merasakan azab Alloh ya, coba seandainya saja jika rumah para cukong-cukong atau koruptor hutan itu rumahnya kebanjiran atau tertimpa tanah longsor akibat mereka menggondol kayu tanpa memepertimbangkan efek sesudahnya atau masa depan nantinya. Kita lihat sekarang ini di seluruh negara di dunia sedang bingung dan khawatir akan pemanasan global ( Global Warming ) dan para petingi-petingi negara itu berkumpul di Bali untuk membicarakan masalah itu dalam protokol Kiyoto, yang mana dari tiap-tiap negara akan mentutujui dan melaksanakan pengurangan dari bahan emisi maupun rumah kaca yang mana dari pembuangan emisi itu akan mengakibatkan lapisan ozon akan robek dan sekarang ini lapisan tersebut suah robek walaupun belum terlalu besar dan akibatnya yaitu iklim di dunia tidak menentu dan permukaan air laut semakin menunggi, dari protokol tersebut negara yang tidak mau menandatangani dan menyutuji diberlakukannya protokol itu ialah Amerika, yang mana Amerika adalah penguna energi emisi yang paling besar, terus dalam benak saya mengatakan apa sih maunya negri paman syam itu?. Dari salah satu penanggulangan dampak pemanasan global itu diantaranya yaitu adalah pemeliharaan dan penghijauan hutan. Gimana mau dirawat wong hutan kita ja sudah gundul. Ya memenag benar hutan yang ada di Indonesia sekarang ini memeng sudah memperihatinkan dan sangat tragis, dari hutan sekarang malah dijadikan suatu lahan pertanian yang katanya orang-orang penting tu biar dapat penghasilan lebih dari sektor pertanian. Ya memang benar kalu untuk sektor pertanian banyak mendapatkan keuntungan tapi kan kalau tidak ada lagi pohon-pohon yang besar kan tidak ada yang menyerap air, mempertahankan tanah dari longsor atau pemenuhan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis pohon, makanya udara segar sekarang ini mahal dicari. Dalam akhir-akhir ini para kaum pertempuan se indonesia serentak untuk menanam suatu pohon yang di prakarsai oleh ibu negara Ani Yudhoyono yang dengan para kaum perempuan menanam pohon yang nantinya akan mengurangi dampak dari pemanasan glbal, maka dari itu negara mencanangkan kepada masyarakatnnya untuk menanam pohon dan menjaga lingkungannya.

Kembali ke hutan Argo Wana Wisata Cupu Mas, mungkin dari pemeliharaan hutan yang dilakukan masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut merupakan bentuk kepeduliannnya untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan kehidupan. Saya sebagai salah satu putra dari desa tersebut sangat bangga akan apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk melestarikan hutannya karena itu merupakan aset yang berharga bagi kelangsungan hidup kita dan dari situ pengaruhpemanasan global saya kira nantinya akan berkurang, ”Ayo para pemuda dan pemudi bangsa, kita lestarikan hutan kita, kita bunuh para mafia dan koruptor hutan karena mereka merupaka tersangka dari kerusakan alam ini!!!!” .

Dengan dibantu oleh dinas peternakan dan kehutanan Kabupaten Magelang wana wisata tersebut tengah akan dibangun guna suatu objek wisata dimana wisata yang akan ditawarkan adalah wisata alam. Disana kita akan diajari bagaimana mengenal lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, dan akan diajarkan bagaimana menanam dan melestarikan hutan. Ya seperti berwisata sambil belajar gitu!. Kita nantinya bisa jalan-jalan dan melihat suatu pepohonan yang masih besar-besar dan alami, jika kita beruntung kita bisa melihat sosok dua burung garuda yang konon merupakan burung yang legendaris kate oreng situ gitu. Dan di sekitar hutan itu juga bisa ditemui binatang-binatang seperti babi hutan, kijang, ayam alasn dan juga kalau ada monyet atau harimau yang sekarang sudah jarang di temuin. Di area itu juga dikembangkan beberapa peternakan diantaranya peternakan sapi dan kambing yang merupakan salah satu mata pencaharian orang di kawasan hutan tersebut selain sebagai petani. Jika kita lelah dalam perjalanan kita bisa istirahat dan memancing di suatu bendungan yang berada di lereng pegunungan potorono, kalo ada yang mau berrenang juga disediakan kolam renang juga lho.

Itulah suatu pesona keindahan alam wana wisata cupu mas, memang tempat itu masih dalam pembangunan dan pengembangan supaya layak dijadikan sebagai suatu objek wisata yang tidak kalah dengan Borobudur ataupun ketep pass yang merupakan objek pariwiasta yang sudah terkenal di Kabupaten Magelang.

Van Lith dan Muntilan "Bethlehem van Java"


MUNTILAN, sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, terletak pada KM 25 dari Yogyakarta ke Magelang, menorehkan kisah pembenihan dan pembentukan elite Katolik di Jawa. Selain nama Pastor R Sandjaja Pr yang terbunuh tahun 1948, dikenang manis pula nama Pastor FGJ Van Lith SJ (1863-1926). Mereka dimakamkan di lokasi yang sama, Pemakaman Muntilan, salah satu tempat ziarah umat Katolik di Jawa.

Pada akhir abad ke-19, 1897, Van Lith mulai berkarya di Muntilan, yang dia sebut sebagai "Bethlehem van Java". Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat. Di desa kecil itu ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja yang sederhana. Gereja kecil dan sekolah desa itu kemudian berkembang menjadi satu kompleks gedung-gedung yang di tahun 1911 dinamai St Franciscus Xaverius College Muntilan.

Salah satu sekolah yang kemudian dikenal sebagai trade mark adalah sekolah guru. Sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa tersebut didirikan tahun 1906, dan bisa dimasuki oleh anak Jawa dari mana pun, dari agama apa pun. Sengaja Van Lith menempatkan pendidikan sebagai unsur terpenting dalam kaderisasi masyarakat Jawa. Lewat pendidikan sekolah di Muntilan dihasilkan elite politik Katolik seperti Kasimo, Frans Seda, dan sejumlah tokoh lain.

Meskipun akhirnya sekolah ini menjadi inti kaderisasi elite politisi Katolik Indonesia, tidak kalah penting kecintaan Van Lith pada bumi dan manusia Jawa. "Aku hidup di tengah-tengah orang Jawa; berperasaan dan berpikir seperti mereka," tulis Romo Van Lith.

Tujuan pendidikan yang diselenggarakannya adalah meningkatkan kualitas anak-anak Jawa sehingga mereka mendapatkan kedudukan yang baik dalam masyarakat.

Sekolah guru berbahasa Belanda itu (Kweekschool), yang didirikan tahun 1906, mula-mula mempunyai murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik. Di tahun 1911 dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin jadi pastor. Satu di antaranya Mgr A Soegijapranata SJ (1896- 1963), yang kemudian Uskup Keuskupan Agung Semarang-uskup pertama pribumi.

Tahun 1948, kompleks sekolah ini dibakar. Tetapi, dari sana sudah dihasilkan elite Katolik Indonesia. Berbeda dengan bangunan sekolah Mendut yang menghasilkan elite perempuan yang tak berbekas sama sekali, kompleks sekolah Muntilan masih punya petilasan. Selain gereja Paroki Muntilan yang tahun ini genap 110 tahun, di sana masih ada sekolah berasrama, SMU Van Lith.

NAMA Van Lith dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya, mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...." Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarikat Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, KH Agus Salim. Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.

Di kedua lembaga itu Pater Van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi. Belanda marah. Maka, ketika mau kembali ke Indonesia setelah berobat di Belanda, dia dihalang-halangi kembali. Ia dicap sebagai "orang yang terlampau giat, kurang berhati-hati, dan beberapa kali ucapannya membuat orang tersinggung". Namun, akhirnya Van Lith boleh kembali ke Indonesia, 9 Juni 1926, meninggal di Muntilan dan dimakamkan di sana dengan adat Jawa.

Kepeloporan Romo Van Lith dalam proses penyadaran bangsa Indonesia atas hak-hak mereka diakui dan dihargai Gereja. Ia dicatat sebagai peletak dasar misi di Jawa. Bumi Muntilan dicatat memberi sumbangan besar. Meskipun kompleks bangunan asli sudah terbakar, "semangat Muntilan" tetap berkobar dalam banyak hati rasul awam dan rohaniwan.

Kemudian, dalam peringatan 100 tahun pastor-pastor Jesuit berkarya di Indonesia (1959), diabadikan kebanggaan: "Sesungguhnyalah! Mulailah Muntilan!"
Paus Yohanes Paulus II, dalam pidatonya di Unika Jakarta, 12 Oktober 1989, menyatakan, "Dalam Gereja Katolik di Indonesia kaum intelektual sejak semula memainkan peranan yang mengagumkam. Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru. Umat Katolik melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia."

Paus Yohanes Paulus II, saat berpidato di Yogyakarta tanggal 10 Oktober 1989, mengungkapkan isi hatinya. Ia melukiskan hari itu berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi umat-Nya, yaitu Romo Van Lith SJ dan dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak IJ Kasimo.

(ST SULARTO, dari berbagai sumber)>kompas kcm, Sabtu, 27 Desember 2003

Rabu, 26 Oktober 2011

Obyek Wisata Ancol Blingo


KOMPAS.com — Pada hari pertama dan kedua Lebaran, jalur Jalan Raya Magelang-Yogyakarta selalu menjadi titik kemacetan parah. Jika tak ingin macet, jalan samping Mungkid-Kalibawang bisa menjadi pilihan menghindari jalur utama tersebut.

Jalur itu tidak saja menawarkan pemandangan asri lahan pertanian dengan latar Perbukitan Menoreh, tetapi juga menawarkan kekayaan wisata budaya dan sejarah, mulai dari candi-candi, Bendungan Karang Talun, hingga makam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang.

Dari arah Kota Magelang, Jawa Tengah, jalan samping ini diawali dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid, yang terletak sekitar 10 kilometer (km) ke arah selatan melalui jalan menuju kompleks wisata Candi Borobudur.

Selepas kompleks kantor Bupati Magelang di Mungkid, akan ditemukan pertigaan besar. Jika membelok ke kanan akan menuju Candi Borobudur. Adapun jalur lurus akan menuju Candi Mendut.

Sekitar 900 meter dari pertigaan tersebut akan ditemukan Jembatan Kali Elo dengan pertigaan lain di ujungnya. Jalur utama ke kiri akan membawa pada Candi Mendut, sementara jalur ke kanan akan masuk ke jalur alternatif Kalibawang-Godean.

Periksa cadangan bahan bakar kendaraan Anda sebab sesudah pertigaan ini, SPBU maupun fasilitas umum lainnya akan semakin jarang ditemui. Ada dua SPBU Pertamina dan toko swalayan di Mungkid sebelum pertigaan ini.

Meneruskan perjalanan ke arah selatan, aktivitas pertanian tembakau menjadi pemandangan menyegarkan di sepanjang Jalan Dekso-Muntilan. Pemandangan pertanian nan hijau ini bisa dinikmati hingga perbatasan Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Pahlawan

Tepat di perbatasan provinsi ini, terdapat pintu air Karang Talun, yang juga dikenal dengan sebutan Ancol. Selain karena pemandangan unik, pintu air ini sarat dengan kisah sejarah Yogyakarta.

Pintu air, yang mampu mengairi 3.000 hektar lahan sawah itu, pertama kali dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 1909, kemudian dipugar Pemerintah RI pada tahun 1980.

Pintu air Karangtalun merupakan hulu Selokan Mataram yang sangat dikenal warga Yogyakarta. Selokan, yang menghubungkan Sungai Progo dan Opak itu, dinormalisasi oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada masa penjajahan Jepang dengan metode padat karya sebagai strategi melindungi rakyat Yogyakarta dari pengiriman kerja paksa ke luar Jawa.



Di sebuah perbukitan tak jauh dari bendungan, tersembunyi kisah kepahlawanan lain, yaitu makam perempuan pahlawan nasional Nyi Ageng Serang. Makam salah satu panglima perang kepercayaan Pangeran Diponegoro itu terletak di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulon Progo.

Jalan Dekso-Muntilan berakhir pada perempatan Dekso, sekitar 30 km barat Kota Yogyakarta. Untuk mencapai Kota Yogyakarta, ambil jalan ke kiri menuju jalan lingkar barat.

Di sepanjang jalur samping Muntilan-Dekso bisa ditemui sejumlah perkebunan buah naga dan sentra kerajinan gula jawa. Antara Dekso dan Yogyakarta terdapat pula Pasar Godean yang terkenal dengan beragam keripik, mulai belut, kulit melinjo, hingga bayam. Berbagai jenis keripik, buah-buahan, dan gula jawa itu bisa menjadi bingkisan oleh-oleh.

Salak Nglumut


Salak pondoh merupakan tanaman unik, dengan bentuk pohon seperti bagian atas pohon kelapa sawit dengan sentuhan sedikit corak pakis, menjadi keunikan tersendiri bila disusun berjajar. Buahnya yang tumbuh di pangkal bawah, berbentuk kecil dengan daging buah yang kenyal serta tidak menempel dengan biji, juga rasanya yang sangat manis, menjadi nilai jual bagi buah ini.

Salak pondoh adalah fenomenal . Mulai dikembangkan pada kira-kira tahun 1980an, salak yang manis dan garing ini segera menjadi buah primadona yang penting di wilayah DIY . Tahun 1999, produksi buah ini di Yogyakarta meningkat 100% dalam lima tahun, mencapai 28.666 ton. Kepopuleran salak pondoh di lidah konsumen Indonesia tak lepas dari aroma dan rasanya, yang manis segar tanpa rasa sepat, meski pada buah yang belum cukup masak sekalipun.

Gambaran produksi itu jelas memperlihatkan lonjakan pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Perkiraan produksi salak di seluruh Jawa sampai tahun 1980an hanya berkisar antara 7.000 - 50.000 ton, dengan wilayah Jawa Barat menyumbang kurang lebih setengah dari jumlah itu.

Salak pondoh sendiri ada bermacam-macam lagi variannya. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah pondoh super, pondoh hitam, pondoh gading, pondoh nglumut yang berukuran besar, dan lain-lain. Di wilayah DIY, sentra penghasil salak pondoh ini adalah kawasan lereng Gunung Merapi yang termasuk wilayah Kecamatan Turi , Kabupaten Sleman .

Salak pondoh nglumut atau kerap pula disebut salak nglumut, namanya diambil dari nama desa penghasil varietas salak unggul ini yaitu Desa Nglumut yang juga berada di hamparan Merapi dan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Srumbung , Kabupaten Magelang , Jawa Tengah .

Kini perkebunan salak pondoh telah meluas ke mana-mana, seperti ke wilayah Wonosobo , Banjarnegara , Banyumas , Kuningan dan lain-lain.

Kerajinan Tanduk Desa Pucang, Magelang

 

Sejak dulu kota Magelang, Jawa Tengah memang telah dikenal akan keindahan dan kesejukannya kotanya. Selain itu kota ini juga terkenal akan tempat-tempat wisata yang memiliki karakteristik tersendiri, sebut saja seperti Candi Borobudur dan candi-candi lainnya yang tersebar di beberapa tempat.

Jika anda berkunjung ke Magelang, ada satu tempat yang tidak boleh dilewatkan. Selain bisa melihat dari dekat pembuatan benda-benda yang terbuat dari bahan tanduk, anda pun tidak perlu pusing untuk membawa oleh-oleh untuk kerabat dan handaitaulan.

Bau menyengat dari pembakaran tanduk dan debu hasil amplasan kayu hingga saat ini masih menjadi kehidupan sehari-hari di sentra kerajinan tanduk dan kayu di Desa Pucang, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Kondisi tersebut menandakan masih ada aktivitas para perajin untuk memenuhi permintaan konsumen. Hasil kerajinan dari daerah tersebut hingga sekarang masih banyak diminati konsumen lokal, nasional maupun luar negeri.

Tangan-tangan terampil warga Pucang tersebut mampu mengubah tanduk kerbau dan sapi maupun beberapa jenis kayu menjadi perkakas rumah tangga dan pernik-pernik aksesoris yang indah dengan sentuhan seni.
Kerajinan tanduk dari daerah itu antara lain centong nasi, mangkok, “cepuk” (tempat perhiasan), sisir, pipa rokok, sendok, dan garpu makan berukir, sedangkan dari bahan kayu menghasilkan produk berupa “solet”, entong, irus, tongkat, dan sisir kutu.

Hasil kerajinan warga Pucang yang terletak sekitar 8-10 km arah timur dari pertigaan Secang di Jalan Semarang-Yogyakarta ini tidak kalah dengan hasil industri modern dari bahan plastik yang kini membanjiri Tanah Air.

Usaha kerajinan tanduk berlangsung turun-temurun di Desa Pucang dan sejak 1960-an desa ini telah terkenal menjadi sentra kerajinan tanduk, sedangkan sentra kerajinan kayu mulai dirintis tahun 1990-an karena semakin langkanya bahan baku tanduk.

Seorang warga yang mempunyai usaha kerajinan tanduk dan kayu, Muhammad Imron di Dusun Karang Kulon, Desa Pucang mengatakan hasil produksinya dikirim ke Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung, dan Surabaya.
Menurut dia, melalui pedagang perantara di beberapa kota tersebut, hasil kerajinannya terutama dari bahan tanduk diekspor ke sejumlah negara di Eropa.

Ia mengatakan, untuk produk kerajinan kayu berupa sisir kutu dari bahan kayu sawo dalam beberapa tahun terakhir permintaannya cenderung ramai, bahkan dalam sebulan mencapai 6.000 hingga 7.000 kodi.
“Sisir kutu dengan harga Rp1.000 per biji, permintaan untuk satu desa bisa mencapai 15 ribu kodi per bulan,” katanya.

Ia mengaku tidak khawatir dengan membanjirnya produk plastik dari China. “Kami berani bersaing dengan produk plastik dari China karena harga juga bersaing,” katanya.

Perajin lain Muh Kojib mengatakan, untuk produk kerajinan kayu tidak terpengaruh dengan produk plastik.
Hingga sekarang setiap pekan tidak kurang 1.000 kodi entong kayu dari desa ini dikirim ke sejumlah kota.
“Setiap pekan kami ada permintaan entong 250 kodi, belum ditambah dari perajin yang lain sehingga jumlahnya bisa mencapai 1.000 kodi lebih,” katanya.

Ia mengatakan, kerajinan dari bahan kayu sono keling dan puspo tersebut bisa dijual murah Rp 14 ribu per kodi karena diproduksi secara besar-besaran. “Kalau tidak murah kita akan tersaing dari produk China,” katanya.
Sementara itu, harga produk kerajinan yang lain, jam dinding dari kayu Rp 40 ribu per buah, tongkat kayu Rp 15 ribu per buah, garuk punggung Rp 3 ribu per biji, hiasan naga dari tanduk Rp 125 ribu per buah, mangkok tanduk Rp 17 ribu per buah, tusuk konde Rp 5 ribu per biji, dan sisir Rp 5.500-Rp 7.500 per buah.
Modal dan Bahan Baku

Para perajin menyatakan bahwa hingga sekarang belum pernah mendapat bantuan modal dari pemerintah baik dana bergulir maupun hibah, selain itu mereka mengeluh kesulitan mendapat bahan baku tanduk yang semakin langka.

Muh Kojib mengatakan, untuk pemasaran dan bahan baku kayu tidak ada masalah karena telah mempunyai jaringan dan kayu mudah didapat di sekitar Magelang, namun untuk bahan baku tanduk kini semakin sulit.
“Dahulu mudah mendapatkan tanduk dari Jakarta, di sana banyak tempat penyembelihan sapi, namun sekarang sulit memperolehnya mungkin karena bukan sapi lokal bertanduk yang disembelih,” katanya.
Hal senada diungkapkan M Imron, untuk mendapatkan tanduk di Jakarta semakin sulit, kalau dahulu mendapatkan 1,5 hingga 2,5 ton tanduk sebulan bisa dengan mudah, sekarang mendapat delapan kuintal saja sudah untung.

Menurut dia, karena susah mencari tanduk di Jakarta, kini harus mencari ke luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Di luar Jawa masih banyak bahan baku tanduk, tetapi karena transportasi jauh maka harganya menjadi mahal,” katanya.

Ia mengatakan, para perajin sebenarnya ingin sekali mendapatkan bantuan modal dengan bunga ringan dari pemerintah, namun selama ini belum pernah mendapatkannya.

“Memang pernah ada tawaran dari Dinas Perindustrian, namun jumlahnya relatif kecil maksimal hanya Rp 5 juta, padahal kami butuh sekitar Rp 30 juta untuk mengembangkan usaha,” kata pengusaha yang omzet penjualannya mencapai Rp30juta hingga Rp 40 juta per bulan ini.

Selama ini, katanya, untuk mendapatkan tambahan modal mengandalkan pinjaman kredit dari bank swasta yang persyaratannya lebih mudah meskipun dengan bunga lebih tinggi.
Muh Kojib, mengatakan sekitar 15 tahun lalu pernah didirikan koperasi perajin Pucang, namun berhenti di tengah jalan.
“Sebenarnya koperasi yang direncanakan untuk menyediakan bahan baku dan menjual hasil kerajinan itu sudah mempunyai kantor di kompleks Pasar Pucang, namun koperasi ini tidak jalan,” katanya.
Berbeda dengan Imron, Kojib mengelola usaha kerajinannya dengan modal tekun dan belum pernah meminjam modal ke bank karena merasa persyaratannya terlalu berat.

“Selama ini kami mengembangkan usaha hanya dari uang tabungan saja, belum pernah meminjam modal dari perbankan,” katanya.

Ia mengaku pernah mendapat tawaran dari BKK Secang Rp 10 juta, namun karena bunganya sama dengan perbankan dia tidak mengambilnya.

Kojib berharap pemerintah memperhatikan para perajin dengan memberikan bantuan modal, karena sentra kerajinan Pucang ini menyedot tenaga kerja tidak sedikit, termasuk dari luar daerah.

Sambil berwisata dan melihat dari dekat sentra kerajinan dari tanduk, pastinya akan membuat anda memiliki kepuasan tersendiri. Dan yang lebih penting tentunya, juga dapat menjadi sebuah inspirasi untuk menjadikannya sebuah bisnis yang sama ditempat anda. Nah, tunggu apa lagi…!

Makam Sunan Geseng

Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah murid Sunan Kalijaga. Ia adalah keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, dengan nasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.



Menurut hikayat, pada suatu saat ia mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau dengan Sunan Geseng.

Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.

Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondo Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng.

Air Terjun Seloprojo

Gunung Telomoyo memang eksotik. Keeksotisan Telomoyo akan semakin terasa ketika kita mau menjelajahinya. Salah satu penambah keindahan Telomoyo adalah keberadaan air terjun di lereng gunung ini. Di manapun tempatnya, air terjun adalah sebuah keajaiban. Demikian juga air terjun yang ada di lereng gunung Telomoyo. Masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri.


Dalam satu perjalanan turun dari gunung Telomoyo, aku menjumpai ada 2 air terjun, yaitu air terjun Sumuran dan air terjun Sekar Langit. Menuruni jalan berkelok dan aspal yang telah mengelupas, aku bertemu dengan sebuah pertigaan. Jika ke kiri, aku akan sampai ke Kopeng. Maka aku memilih jalur yang ke kanan. Karakteristik jalan yang berliku-liku aku lalui. Untungnya kualitas jalan sudah baik. Akhirnya aku berjumpa dengan pertigaan dan terdapat tulisan penanda: air terjun seloprojo. Penanda itu aku ikuti. Medan yang aku lalui cukup sulit. Namun tidak menyurutkan keinginan untuk menikmati keindahan air terjun Sumuran ini.

Air terjun Sumuran atau Seloprojo terletak di Desa Seloprojo, Kecamatan Ngablak 44 km sebelah tenggara Kota Magelang. Air terjun ini dinamai Sumuran karena, menurut cerita, air terjun ini berasal dari sumur yang berada di sebelah atas atau pangkal air terjun. Pada mulanya, air terjun ini tak ada yang melirik. Mendekati pun enggan karena terkesan angker. Maklum saja, air terjuan ini berada di balik rerimbunan pohon pinus dan tanaman hutan lainnya. Seiring perkembangan zaman dan keindahan yang terpancar dari air terjun ini, dibukalah air terjun ini menjadi tempat wisata. Pembukaan lahan di sekitar air terjun oleh masyarakat pun turut memberikan andil sehingga kesan angker makin lama makin berkurang.

Puas menikmati keindahan air terjun Sumuran ini, aku melanjutkan perjalanan. Aku menuju ke arah Grabag. Tidak jauh dari desa Seloprojo, aku masuk desa Telogorejo. Di desa inilah aku menemukan sebuah penanda: air terjun Sekar Langit. Karena tertarik, aku pun menghentikan perjalanan dan mampir ke tempat ini. Dari tempat parkir, aku harus melalui jalan setapak. Mulanya, jalan ini dibuat corblock. Selanjutnya jalan tanah. Akhirnya aku sampai di kompleks air terjun Sekar langit. Cukup jauh juga jalan yang harus aku lalui dari tempat parkir menuju air terjun. Jalan yang naik turun menjadikan nafas ini ngos-ngosan.

Lega rasanya ketika aku melihat ada jembatan yang melintang di atas jembatan. Segera kupercepat langkahku. Dan benar saja. Aku masuk kompleks air terjun Sekar langit. Ternyata, ada dua buah jembatan. Jembatan yang satu dibangun untuk menggantikan jembatan bambu lama yang telah lapuk. Jembatan ini dibuat lebih besar. Bahan dasarnya tetap sama, yaitu menggunakan bambu. Di kanan kiri jembatan terdapat pagar pengaman sehingga para pengujung tidak perlu takut ketika melintasi jembatan bambu ini menuju ke air terjunnya. Dari jembatan gantung ini, aku masih harus berjalan lagi melawati jalan setapak di pinggir sungai. Sesampai di puncak jalan ini, barulah terpampang sebuah pemandangan yang membuat mulutku ternganga. Air terjun Sekar langit ada di hadapanku. Airnya sangat jernih.

Air terjun Sekar Langit adalah nama yang indah. Dalam bahasa Jawa, Sekar berarti bunga, dan Langit berarti langit. Jika diterjemahkan berarti bunga yang turun dari langit. Air terjun Sekar Langit merupakan tetesan mata air yang berasal dari puncak gunung Telomoyo, gunung yang membatasi antara kota Salatiga dan kota Magelang di Jawa Tengah. Air terjun setinggi sekitar 30 meter ini mengalir ke arah barat menuju ke aliran sungai Elo untuk nantinya bermuara di laut selatan Jawa.

Wilayah dimana air terjun ini berada, termasuk ke dalam wilayah Telogorejo, Magelang, Jawa Tengah. Warga sangat menghormati air terjun yang satu ini. Tentu ada sebab musababnya, yaitu adanya sebuah runtutan kisah dongeng klasik dibalik pesona Sekar Langit. Ya… disebut-sebut, air terjun Sekar Langit ini merupakan air terjun yang terdapat dalam dongeng legenda Joko Terub, seorang pria iseng yang mencuri selendang bidadari yang sedang mandi di sebuah air terjun.

Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu, namun Sekar Langit menyajikan sebuah pemandangan yang luar biasa indah. Air yang turun membentuk sebuah kolam besar. Lau airnya mengalir menyusuri sungai di sela-sela batu-batu besar. Ada banyak titik yang bisa dipakai untuk menikmati keindahan air terjun sembari bermain dengan airnya yang jernih dan dingin. Kewaspadaan sangat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan adanya kemungkinan banjir yang bisa setiap saat datang. Sudah ada beberapa kasus yang terjadi dan menelan kurban.

Tak terasa, waktu terus berjalan. Di atas sana, mendung mulai mengelayut. Meski enggan, aku harus mengakhiri petualangan menikmati keindahan air terjun di sepanjang perjalanan dari Gunung Telomoyo – Grabag – Magelang.
free counters