Tak banyak museum di Indonesia yang secara khusus mengoleksi wayang. Beberapa pemerhati budaya bahkan berani memastikan, hanya ada 4 museum yang benar-benar memenuhi syarat untuk disebut sebagai museum wayang.
Museum-museum tersebut, yaitu Museum Wayang di Jakarta, Museum Kekayon Yogyakarta, Museum Wayang Indonesia di Wonogiri, serta Museum Wayang H Boediardjo yang terletak di Sasana Guna Rasa, Hotel Pondok Tingal, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Museum Wayang H Boediardjo malah dianggap sebagai museum yang “sempurna” karena dilengkapi dengan perpustakaan, dan rutin menggelar pertunjukan wayang kulit.
Sebulan sekali, yaitu setiap malam minggu ke-4, digelar pertunjukan wayang kulit di Gandok Sawitri atau di Pendopo Saraswati. Sabtu malam mendatang, yakni tanggal 23 Oktober 2010, merupakan pagelaran wayang kulit ke 169 yang diadakan pengelola Hotel Pondok Tingal.
Pertunjukan biasanya dimulai pukul 20.00 WIB sampai lewat tengah malam. Ini merupakan upaya pemangku kepentingan merangkul komunitas-komunitas yang bergelut di bidang pewayangan dan kebudayaan untuk berpartisipasi meramaikan museum.
“Dalang-dalang yang punya nama besar sudah pernah dapat jatah main di sini,” kata Eko Sunyoto, karyawan Hotel Pindok Tingal yang mendapat tugas mengurusi Museum Wayang H Boediardjo.
Eko lantas menyebut nama-nama dalang mainstream semacam Ki Mantep Sudarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Purbo Asmoro, serta sejumlah dalang senior seperti Ki Anom Suroto dan Ki Hadi Sugito. Bukan hanya itu, dalang-dalang lokal pun dihadirkan untuk memberikan lebih banyak ruang berkesenian bagi mereka.
“Ki Slamet Gundono main di sini akhir Mei 2007. Dia main wayang suket. Cuma 30 menit tapi hebat, semua yang lihat terkagum-kagum. Isterinya juga malah ikut main. Ramai pokoknya,” lanjut Eko.
Ki Slamet Gundono adalah dalang mbeling asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang dikenal suka “memberontak” pada tradisi dan pakem pewayangan. Ia membuat jenis-jenis pertunjukan “aneh” seperti wayang gremeng, wayang air, wayang nglindur, dan wayang buling.
Dalam pertunjukannya, Slamet Gundono jarang mengenakan pakaian Jawa layaknya dalang-dalang lain. Ia kadang berbusana perempuan lengkap dengan make up, hingga terlihat seperti waria.
Museum Wayang dan Perpustakaan H Boediardjo diresmikan oleh Hj Sri Redjeki Boediardjo, tepat pada Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2001.
Dari buku-buku tamu yang ada, sejak museum ini diresmikan hingga sekarang, jumlah pengunjung tercatat 992 orang. Hampir setengahnya berasal dari luar negeri. Kebanyakan pengunjung asing itu datang dari Jepang dan beberapa negara di Eropa.
“Ada yang hanya wisatawan, tapi ada juga fotografer dan budayawan,” ujar Yuliza Hariyani, isteri Eko, yang kebagian tugas bersih-bersih museum. Arbain Rambey, si tukang foto jurnalistik nan ngetop itu, mengisi buku tamu pada tanggal 21 Mei 2004.
Tak ada kewajiban membayar atau membeli tiket bagi pengunjung museum. Sebuah kotak yang diletakkan di dekat pintu masuk, disediakan bagi mereka yang mau memberikan sumbangan sukarela untuk dana pemeliharaan dan perawatan wayang.
Di museum ini tersimpan koleksi berupa wayang dari Karesidenan Kedu, yang diperkirakan dibuat di tahun 1800an. Ada pula wayang-wayang tua yang terbuat dari batu, serta wayang golek kanton dari Cina dan wayang Jepang.
Wayang-wayang kulit Jawa yang terdapat di Museum Wayang H Boediardjo meliputi Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, Wayang Yogyakarta Lawas, Wayang Putihan Yogyakarta, Wayang Kulit Surakarta, Wayang Putihan Solo, Wayang Kulit Kidang Kencanan, Wayang Sadet, Wayang Putihan Digapiti, Wayang Kedu, Wayang Putihan Kedu.
Dari luar Jawa, terlihat koleksi Wayang Golek, Wayang Jawa Timuran serta Wayang Bali. Wayang Putihan adalah wayang yang sudah ditatah, namun belum dicat dan belum disungging.
“Jumlahnya ratusan. Selain wayang kulit, juga ada puluhan topeng-topeng dari Bali, Yogyakarta, Malang, Surakarta sampai topeng khas Cirebonan,” terang Eko.
Agar terhindar dari jamur dan ngengat, wayang-wayang tersebut dirawat dengan cara diangin-anginkan setiap kurun waktu tertentu, serta diberi silica gell. Ventilasi gedung museum terlihat memadai, berikut pencahayaan alami yang cukup.
Koleksi lain Museum Wayang H Boediardjo adalah 83 kaset dan 59 kaset video berisi rekaman pertunjukan beberapa jenis wayang. Rekaman wayang dalam bentuk kaset dibuat antara tahun 1971 sampai 1994, sedangkan rekaman dengan media pita kaset video diproduksi sejak awal tahun 1980an hingga pertengahan 1990an.
Sebuah ruangan dipakai sebagai perpustakaan dengan koleksi mencapai 694 judul buku dalam berbagai bahasa mengenai wayang.
Museum-museum tersebut, yaitu Museum Wayang di Jakarta, Museum Kekayon Yogyakarta, Museum Wayang Indonesia di Wonogiri, serta Museum Wayang H Boediardjo yang terletak di Sasana Guna Rasa, Hotel Pondok Tingal, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Museum Wayang H Boediardjo malah dianggap sebagai museum yang “sempurna” karena dilengkapi dengan perpustakaan, dan rutin menggelar pertunjukan wayang kulit.
Sebulan sekali, yaitu setiap malam minggu ke-4, digelar pertunjukan wayang kulit di Gandok Sawitri atau di Pendopo Saraswati. Sabtu malam mendatang, yakni tanggal 23 Oktober 2010, merupakan pagelaran wayang kulit ke 169 yang diadakan pengelola Hotel Pondok Tingal.
Pertunjukan biasanya dimulai pukul 20.00 WIB sampai lewat tengah malam. Ini merupakan upaya pemangku kepentingan merangkul komunitas-komunitas yang bergelut di bidang pewayangan dan kebudayaan untuk berpartisipasi meramaikan museum.
“Dalang-dalang yang punya nama besar sudah pernah dapat jatah main di sini,” kata Eko Sunyoto, karyawan Hotel Pindok Tingal yang mendapat tugas mengurusi Museum Wayang H Boediardjo.
Eko lantas menyebut nama-nama dalang mainstream semacam Ki Mantep Sudarsono, Ki Enthus Susmono, Ki Purbo Asmoro, serta sejumlah dalang senior seperti Ki Anom Suroto dan Ki Hadi Sugito. Bukan hanya itu, dalang-dalang lokal pun dihadirkan untuk memberikan lebih banyak ruang berkesenian bagi mereka.
“Ki Slamet Gundono main di sini akhir Mei 2007. Dia main wayang suket. Cuma 30 menit tapi hebat, semua yang lihat terkagum-kagum. Isterinya juga malah ikut main. Ramai pokoknya,” lanjut Eko.
Ki Slamet Gundono adalah dalang mbeling asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang dikenal suka “memberontak” pada tradisi dan pakem pewayangan. Ia membuat jenis-jenis pertunjukan “aneh” seperti wayang gremeng, wayang air, wayang nglindur, dan wayang buling.
Dalam pertunjukannya, Slamet Gundono jarang mengenakan pakaian Jawa layaknya dalang-dalang lain. Ia kadang berbusana perempuan lengkap dengan make up, hingga terlihat seperti waria.
Museum Wayang dan Perpustakaan H Boediardjo diresmikan oleh Hj Sri Redjeki Boediardjo, tepat pada Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember 2001.
Dari buku-buku tamu yang ada, sejak museum ini diresmikan hingga sekarang, jumlah pengunjung tercatat 992 orang. Hampir setengahnya berasal dari luar negeri. Kebanyakan pengunjung asing itu datang dari Jepang dan beberapa negara di Eropa.
“Ada yang hanya wisatawan, tapi ada juga fotografer dan budayawan,” ujar Yuliza Hariyani, isteri Eko, yang kebagian tugas bersih-bersih museum. Arbain Rambey, si tukang foto jurnalistik nan ngetop itu, mengisi buku tamu pada tanggal 21 Mei 2004.
Tak ada kewajiban membayar atau membeli tiket bagi pengunjung museum. Sebuah kotak yang diletakkan di dekat pintu masuk, disediakan bagi mereka yang mau memberikan sumbangan sukarela untuk dana pemeliharaan dan perawatan wayang.
Di museum ini tersimpan koleksi berupa wayang dari Karesidenan Kedu, yang diperkirakan dibuat di tahun 1800an. Ada pula wayang-wayang tua yang terbuat dari batu, serta wayang golek kanton dari Cina dan wayang Jepang.
Wayang-wayang kulit Jawa yang terdapat di Museum Wayang H Boediardjo meliputi Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, Wayang Yogyakarta Lawas, Wayang Putihan Yogyakarta, Wayang Kulit Surakarta, Wayang Putihan Solo, Wayang Kulit Kidang Kencanan, Wayang Sadet, Wayang Putihan Digapiti, Wayang Kedu, Wayang Putihan Kedu.
Dari luar Jawa, terlihat koleksi Wayang Golek, Wayang Jawa Timuran serta Wayang Bali. Wayang Putihan adalah wayang yang sudah ditatah, namun belum dicat dan belum disungging.
“Jumlahnya ratusan. Selain wayang kulit, juga ada puluhan topeng-topeng dari Bali, Yogyakarta, Malang, Surakarta sampai topeng khas Cirebonan,” terang Eko.
Agar terhindar dari jamur dan ngengat, wayang-wayang tersebut dirawat dengan cara diangin-anginkan setiap kurun waktu tertentu, serta diberi silica gell. Ventilasi gedung museum terlihat memadai, berikut pencahayaan alami yang cukup.
Koleksi lain Museum Wayang H Boediardjo adalah 83 kaset dan 59 kaset video berisi rekaman pertunjukan beberapa jenis wayang. Rekaman wayang dalam bentuk kaset dibuat antara tahun 1971 sampai 1994, sedangkan rekaman dengan media pita kaset video diproduksi sejak awal tahun 1980an hingga pertengahan 1990an.
Sebuah ruangan dipakai sebagai perpustakaan dengan koleksi mencapai 694 judul buku dalam berbagai bahasa mengenai wayang.
0 komentar:
Posting Komentar