KOMPAS.com — Pada hari pertama dan kedua Lebaran, jalur Jalan Raya Magelang-Yogyakarta selalu menjadi titik kemacetan parah. Jika tak ingin macet, jalan samping Mungkid-Kalibawang bisa menjadi pilihan menghindari jalur utama tersebut.
Jalur itu tidak saja menawarkan pemandangan asri lahan pertanian dengan latar Perbukitan Menoreh, tetapi juga menawarkan kekayaan wisata budaya dan sejarah, mulai dari candi-candi, Bendungan Karang Talun, hingga makam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang.
Dari arah Kota Magelang, Jawa Tengah, jalan samping ini diawali dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid, yang terletak sekitar 10 kilometer (km) ke arah selatan melalui jalan menuju kompleks wisata Candi Borobudur.
Selepas kompleks kantor Bupati Magelang di Mungkid, akan ditemukan pertigaan besar. Jika membelok ke kanan akan menuju Candi Borobudur. Adapun jalur lurus akan menuju Candi Mendut.
Sekitar 900 meter dari pertigaan tersebut akan ditemukan Jembatan Kali Elo dengan pertigaan lain di ujungnya. Jalur utama ke kiri akan membawa pada Candi Mendut, sementara jalur ke kanan akan masuk ke jalur alternatif Kalibawang-Godean.
Periksa cadangan bahan bakar kendaraan Anda sebab sesudah pertigaan ini, SPBU maupun fasilitas umum lainnya akan semakin jarang ditemui. Ada dua SPBU Pertamina dan toko swalayan di Mungkid sebelum pertigaan ini.
Meneruskan perjalanan ke arah selatan, aktivitas pertanian tembakau menjadi pemandangan menyegarkan di sepanjang Jalan Dekso-Muntilan. Pemandangan pertanian nan hijau ini bisa dinikmati hingga perbatasan Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Pahlawan
Tepat di perbatasan provinsi ini, terdapat pintu air Karang Talun, yang juga dikenal dengan sebutan Ancol. Selain karena pemandangan unik, pintu air ini sarat dengan kisah sejarah Yogyakarta.
Pintu air, yang mampu mengairi 3.000 hektar lahan sawah itu, pertama kali dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 1909, kemudian dipugar Pemerintah RI pada tahun 1980.
Pintu air Karangtalun merupakan hulu Selokan Mataram yang sangat dikenal warga Yogyakarta. Selokan, yang menghubungkan Sungai Progo dan Opak itu, dinormalisasi oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada masa penjajahan Jepang dengan metode padat karya sebagai strategi melindungi rakyat Yogyakarta dari pengiriman kerja paksa ke luar Jawa.
Jalur itu tidak saja menawarkan pemandangan asri lahan pertanian dengan latar Perbukitan Menoreh, tetapi juga menawarkan kekayaan wisata budaya dan sejarah, mulai dari candi-candi, Bendungan Karang Talun, hingga makam Pahlawan Nasional Nyi Ageng Serang.
Dari arah Kota Magelang, Jawa Tengah, jalan samping ini diawali dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid, yang terletak sekitar 10 kilometer (km) ke arah selatan melalui jalan menuju kompleks wisata Candi Borobudur.
Selepas kompleks kantor Bupati Magelang di Mungkid, akan ditemukan pertigaan besar. Jika membelok ke kanan akan menuju Candi Borobudur. Adapun jalur lurus akan menuju Candi Mendut.
Sekitar 900 meter dari pertigaan tersebut akan ditemukan Jembatan Kali Elo dengan pertigaan lain di ujungnya. Jalur utama ke kiri akan membawa pada Candi Mendut, sementara jalur ke kanan akan masuk ke jalur alternatif Kalibawang-Godean.
Periksa cadangan bahan bakar kendaraan Anda sebab sesudah pertigaan ini, SPBU maupun fasilitas umum lainnya akan semakin jarang ditemui. Ada dua SPBU Pertamina dan toko swalayan di Mungkid sebelum pertigaan ini.
Meneruskan perjalanan ke arah selatan, aktivitas pertanian tembakau menjadi pemandangan menyegarkan di sepanjang Jalan Dekso-Muntilan. Pemandangan pertanian nan hijau ini bisa dinikmati hingga perbatasan Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Pahlawan
Tepat di perbatasan provinsi ini, terdapat pintu air Karang Talun, yang juga dikenal dengan sebutan Ancol. Selain karena pemandangan unik, pintu air ini sarat dengan kisah sejarah Yogyakarta.
Pintu air, yang mampu mengairi 3.000 hektar lahan sawah itu, pertama kali dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 1909, kemudian dipugar Pemerintah RI pada tahun 1980.
Pintu air Karangtalun merupakan hulu Selokan Mataram yang sangat dikenal warga Yogyakarta. Selokan, yang menghubungkan Sungai Progo dan Opak itu, dinormalisasi oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada masa penjajahan Jepang dengan metode padat karya sebagai strategi melindungi rakyat Yogyakarta dari pengiriman kerja paksa ke luar Jawa.
Di sebuah perbukitan tak jauh dari bendungan, tersembunyi kisah kepahlawanan lain, yaitu makam perempuan pahlawan nasional Nyi Ageng Serang. Makam salah satu panglima perang kepercayaan Pangeran Diponegoro itu terletak di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulon Progo.
Jalan Dekso-Muntilan berakhir pada perempatan Dekso, sekitar 30 km barat Kota Yogyakarta. Untuk mencapai Kota Yogyakarta, ambil jalan ke kiri menuju jalan lingkar barat.
Di sepanjang jalur samping Muntilan-Dekso bisa ditemui sejumlah perkebunan buah naga dan sentra kerajinan gula jawa. Antara Dekso dan Yogyakarta terdapat pula Pasar Godean yang terkenal dengan beragam keripik, mulai belut, kulit melinjo, hingga bayam. Berbagai jenis keripik, buah-buahan, dan gula jawa itu bisa menjadi bingkisan oleh-oleh.
Jalan Dekso-Muntilan berakhir pada perempatan Dekso, sekitar 30 km barat Kota Yogyakarta. Untuk mencapai Kota Yogyakarta, ambil jalan ke kiri menuju jalan lingkar barat.
Di sepanjang jalur samping Muntilan-Dekso bisa ditemui sejumlah perkebunan buah naga dan sentra kerajinan gula jawa. Antara Dekso dan Yogyakarta terdapat pula Pasar Godean yang terkenal dengan beragam keripik, mulai belut, kulit melinjo, hingga bayam. Berbagai jenis keripik, buah-buahan, dan gula jawa itu bisa menjadi bingkisan oleh-oleh.
0 komentar:
Posting Komentar